3371 MDPL : The Descending [Part 3]

Satu harapan, satu mimpi, satu tujuan dan sejuta cerita. Harapan sudah membawa kita sejauh ini, mimpi sudah membuat kita seberani ini, tujuan sudah membuat kita seyakin ini, dan kisah yang sudah memberi kita banyak hal baru dan bercerita hingga kita berhasil menggapai apa itu impian. Sebuah cita-cita yang tercapai tidak luput dari tanggungjawab yang harus ditunaikan sebagai resolusi demi melanjutkan dan menghidupi cita kita, layaknya kita yang sudah sampai diatas awan dengan satu keberhasilan dimana resolusi ini adalah menjejaki langkah yang sudah terukir sebelumnya sebagai awal baru untuk menggapai mimpi-mimpi kita yang lain. Inilah, kisah kita saat menuruni ketandusan Sumbing.

 Say good bye to heaven

Usai melakukan pengabadian momen, tepat pukul 12:35 kami mulai menuruni gunung dengan tujuan awal kembali ke tenda yang berada di bawah POS III. Jalur yang kami ambil sedikit berbeda, terlebih saat menuruni bebatuan kapur yang lebih terjal daripada pendakian. Penurunan adalah saat dimana ujung kaki dan punggung kaki sebagai tumpuan badan, ditambah medan yang terjal sehingga membuat kaki bekerja lebih banyak untuk menahan. Saat penurunan ini luka lamaku akibat kecelakaan sebulan yang lalu mulai terasa sakit karena luka ini tepat berada di punggung kaki, sehingga luka ini menahan penuh tubuh dan tergesek-gesek setiap kali melangkah. Kaki kananku sungguh tak leluasa, seperti ingin menahan jeritan disaat kaki kanan tiap kali berpijak, sesaat aku pun berjalan mundur agar tumpuanku berbalik pada tungkai, tapi ini tidak berjalan lama. Luka ini semakin panas dan sakit, aku takut ini akan mengelupas karena belum sembuh sempurna. Dengan jalan penuh beban aku yang bersama Nunu mulai kehausan mengingat persediaan minum kami habis total hanya tersisa di tenda, sementara perjalanan masih cukup jauh. Pada saat melewati bebatuan kami berdua bertemu pendaki lain yang sedang break , tanpa pikir panjang Nunu meminta sedikit bekal air mereka untuk kami. Dengan sedikit enggan mereka memberikan sisa air yang berisi 2 kali tegukan, meski tidak menghapus dahaga namun tetap kami nikmati berdua, hanya untuk membasahi tenggorokan. Sampai dibebatuan daerah Watu Kotak kami mendapati bahwa ada sosok yang sedang tertidur sendirian dibalik batu-batu dan semak, setelah kami dekati ternyata sosok itu adalah Mas Naufal dengan slayer warna merah menutupi mukanya, rupanya dia tertidur untuk memulihkan tenaga. Tak kami sangka dia meninggalkan kami hanya untuk tidur, kami hanya melewatinya tanpa membuatnya terbangun sedikitpun.

Di perdebuan yang tandus dan menurun hanya ada trek kecil disebelah kanan jalan air yang membentuk jalan akibat injakan para pendaki, terlihat Mas Naufal yang lihai dalam penurunan tepat dari belakang atas kami sedang lari menurun menuju kami, dia cukup berani lari menurun dengan jurang yang landai disisi kanannya. Melihat hal ini kami bedua berharap dia membawa bekal air lebih untuk kami minum. Saat sudah mendekat kami menyapanya dan langsung menanyai adakah air yang tersisa, namun dengan tampang yang tidak mengenakan dia seolah menjawab singkat bahwa dia tidak punya air, selintas dia seperti-hanya melewati kami dan tidak berhenti sedikitpun dan kembali melebarkan langkahnya untuk berlari mendahului kami. Kembali seperti semula hanya ada aku dan Nunu saat itu, didepan Anggi dan Adies memimpin jauh tak terlihat, menyusul Mas Naufal sedang mengejar mereka berdua, dan selebihnya berada dibelakang.

Saat sudah sampai tanah bekas jalan air yang cukup licin, terlihat Mas Naufal terkapar dengan kedua kakinya lurus dan kedua tangannya memegangi setiap kakinya, sepertinya dia sedang merasakan kesakitan atau semacamnya. Begitu kami semakin dekat dengannya entah kenapa kami berdua hanya lewat di sisinya tanpa menyapa atau berhenti sekalipun, dia hanya fokus pada kedua kakinya, Nunu yang tepat didepanku hanya berjalan seolah tidak ada siapa-siapa selain dirinya dan aku. Aku hanya melihat ke arah Mas Naufal saat aku melewatinya, namun dia tidak beralih pandangan dari kedua kakinya. Entah apa yang terjadi kami terus jalan.

Pukul 14:37 kami berdua sampai di tenda segera saja mengambil botol air disana sudah ada Adies dan Anggi yang sedang menyiapkan makanan, Anggi dengan kepiawaiannya membuat api dan Adies sedang membuka beberapa kaleng sarden. Sembari menunggu yang lain sampai kami berempat menikmati sarden hangat tanpa nasi, yang kiranya cukup mengganjal perut yang lapar. Persediaan makanan kian menipis hanya tersisa sarden, mie instan dan beberapa sosis instan. Beberapa puluh menit kemudian yang lain sampai di camp , langsung menyerbu minuman dan makanan karena dahaga dan lelah yang memotivasi untuk makan. Dalam perbincangan ringan aku bertanya kepada Aldy mengenai apa yang terjadi pada Mas Naufal, ternyata dia mengalami cidera pada pergelangan kakinya semacam kesleo namun cukup parah, mendengar hal ini aku cukup prihatin semoga dalam perjalanan pulang nanti dia baik-baik saja sampai basecamp.

Matahari sudah mulai memudar, hari pun nyaris gelap. Kami bergegas untuk berkemas dan bersiap untuk turun. Saat tenda sudah di carrier Mas Ryan membunyikan peluitnya itu tandanya kami harus berkumpul, kami membentuk lingkaran dan Mas Ryan menyampaikan beberapa patah kata atas pencapaian kita atas mimpi ini.  Berdoa bersama pun dimulai dibawah nirwana yang mulai memerah harapan atas keselamatan dan pengalaman terpanjatkan menembus cahaya kemerahan yang itu artinya saat terakhir kita melihat matahari diatas gunung ini. Karena esok akan berbeda..

17:17 Perjalanan menurun terasa lebih cepat dan ringan, tapi harus ekstra hati-hati dan mata kini bekerja lebih keras untuk memerhatikan jalan yang harus dilewati, kini aku dan Aldy berada dipaling belakang kawanan dengan Ahmar didepanku, dalam penurunan ini Aldy sempat jatuh sehingga aku tidak berani meninggalkannya terlalu jauh, jadi stick together. Sampailah kami diperhutanan yang mulai gelap dan suara khas hutan yang nyaris membuat bulu kuduk berdiri, ini adalah saat-saat tanggung dimana pergantian siang ke malam sementara kami masih ditengah hutan dan tidak selayaknya berhenti, jadi kami tetap berjalan. Rumput-rumput bagai hiasan yang menjulang dari tembok tanah menyerambai seolah ingin menyapa setiap dari kami. Sekitar hampir satu jam berjalan kami sudah berada dibawah awan, itu artinya kita sudah cukup rendah dan secara bersamaan berkumandanglah suara Adzan maghrib, kami memutuskan untuk berhenti tepat dijalan setapak tanah yang menurun, sembari mengecek dan istirahat. Aku dan Aldy sedikit berkonspirasi, dimana aku masih mempunyai sebotol air jeruk sisa perbekalan yang masih utuh, dan aku meminumnya namun tanpa sepengetahuan yang lainnnya kecuali Aldy, karena kami berdualah yang paling belakang. Sehingga kami meminumnya untuk bedua, Aldy pun ketawa licik (iseng) begitu juga aku sambil mengernyitkan dahi. Ini sungguh konyol, dia menyimpannya di tas kecil yang selalu dia bawa. Kami sungguh tega tapi percayalah ini hanya candaan yang bodoh.

Pukul 19:30 kami sampai di POS , disini kami membongkar bekal kami lagi untuk makan malam. Sekilas tampak Cherly yang langsung tiduran ditanah yang cukup tinggi tanpa menghiraukan yang lain, beberapa saat kemudian kami mendapati bahwa Cherly pingsan, dia lemas dan pucat, matanya tertutup, badannya dingin. Segera semua langsung panik, Mas Ryan langsung membongkar kotak P3K nya, diberikannya botol oksigen untuk membantu Cherly bernafas, disamping itu kami membuat air panas untuk membuat minuman panas dan sedikit makanan, empat dari kami menyelubungi Cherly dengan duduk disetiap sisinya menjaga agar dia tetap hangat, ku lepaskan balaclava ku dan dikenakan dikepalanya, dia masih memejamkan mata dan tidak sadar. Begitu minuman jahe-nya sudah jadi Adies membantunya minum dengan perlahan, sementara Mas Ryan mencoba menghubungi basecamp, namun sialnya ponsel Mas Ryan kehabisan baterai. Jadi ku sodorkan ponsel milikku untuk menghubungi pihak bawah. Bateraiku yang juga mulai menipis masih belum ada jawaban dari bawah. Namun seiring kita berusaha dan bersabar akhirnya pihak bawah akan menjemput Cherly begitu kami sampai diperbatasan hutan dan perkebunan / setapak terakhir. Bergegas kami bersiap-siap untuk menuju kebawah, Cherly pun digendong Mas Ryan kami berderet saling menjaga dan mengawasi Cherly mencegah agar jangan sampai terjadi hipotermia. Sepertinya Cherly memang sudah kecapaian karena setahuku dia belum makan makanan berat dari siang tadi, dia juga enggan untuk menyampaikan apa yang dirasanya, padahal dari awal kami sudah menekankan apapun yang terjadi harus diutarakan jangan dianggap remeh, mungkin juga karena kondisi Mas Naufal yang demikian jadi Cherly enggan untuk berkompromi.

Sampailah kami diperbatasan hutan-perkebunan, disini kami menunggu pihak rescue datang, menit demi menit bergulir namun masih tidak ada yang datang, kami mulai kedinginan karena tubuh berhenti bergerak jadi hawa dingin mulai menusuk, aku menyiasati dengan berjalan-jalan kecil, namun ini tidak membantu. Mas Ryan memberikan biskuit untuk kami sembari menunggu kami duduk di setapak berbatu. Sementara Aku dan Anggi bercerita tentang kentut pendakian saat menaiki tebing siang tadi, kami dan yang lainnya pun tertawa mendengar cerita kami berdua, tanpa yang disangka pun ikut tertawa ringan, yaa.. Cherly tersenyum dan menggetarkan tubuhnya beberapa kali seperti menahan tawa, aku paham kondisinya. Disisi lain ia ingin tertawa tapi disisi lain ia juga lemas dan tak berdaya sehingga tertawa ringannya membuat sedikit canggung dan terkesan aneh. Tapi tak apalah, itu membuat kami senang karena ia sudah cukup lebih baik.

Nyaris dua jam akhirnya tim rescue datang dengan tiga motor ber-gear besarnya setelan motor gunung. Aku, Nunu, dan Ahmar sudah jalan terlebih dahulu dengan mambawa tenda, jarak sekitar 500 meter dari mereka motor rescue  itu melintasi kami dengan cepat dengan suara yang memecahkan kesunyian itu, terlihat Chely membonceng dengan diikatkan ke penunggangnya dan membawa carrier nya ke basecamp. 21:14 kami yang tersisa melanjutkan perjalanan, aku dan Aldy akhirnya menggagalkan konspirasi kami tentang air jeruk, kami membagikannya ke yang lain, meski tidak minum semua karena itu tidak cukup. Sampai di perkebunan gerimis kecil menyertai perjalanan, rasa dahaga yang tak dapat terbendung membuat Anggi dan Ahmar ingin memutus saluran air warga untuk diminum, tapi akhirnya perbuatan ini enggan dilakukan karena aku berkata sebentar lagi sampai basecamp sia-sia jika kita merusak saluran milik warga ini, karena itu tidak seberapa. Rumah-rumah mulai tampak dekat dan membesar dari pandangan, jalan pertama yang kami lewat dua hari kemarin mulai teringat, semangat kami mulai tampak dalam melangkah, ingin cepat-cepat sampai dijalan yang datar dibawah sana. Saat ditangga paling akhir aku dan Adies menghitung mundur langkah, at least jalan datar dan berpaving kami pijaki, terasa begitu ringan dan serasa melayang langkah ini. Seraya kami mengucap Alhamdulillah ya Allah . Aku dan Adies saling merangkul dan berjalan berdampingan.

Tepat pukul 22:25 kami sampai dirumah kami bermalam diawal mula kami sampai disini, basecamp. Disini terlihat banyak pendaki-pendaki yang semuanya dari luar daerah, aku langsung mencari Cherly untuk melihat bagaimana kondisinya. Dia masih tertidur, syukurlah dia baik-baik saja. Aku mencari Anggi dan Ahmar tapi mereka tidak kunjung sampai, aku cari di warung mie ayam diatas, ternyata mereka disana. Aku dan Nunu kesana untuk makan malam dan bingo mereka sudah berada disana. Akupun bergabung, disini aku melakukan hal konyol, dimana aku memesan es teh manis. Itu kenapa, karena saat itu kondisi baru turun gunung, keringat berkucuran dan gerah sehingga aku tanpa pikir panjang mulutku berkata es teh pada abang tukang mie nya, abangnya pun berkata kalau es teh tidak ada, dalam hatiku sadar "yang benar saja digunung begini ada yang jual es teh, jelas-jelas disini dingin dan semua orang juga lebih suka berhangat dan mengonsumsi makanan-minuman yang hangat" oh konyolnya aku, jadi aku memutuskan untuk memesan teh panas. Kelar makan malam kami kembali ke basecamp untuk menemui yang lainnya. Mas Ryan dan Mas Naufal sudah berkemas dan terlihat mereka akan meninggalkan kami terlebih dahulu, karena mereka harus pulang ke jogja. Malam itu juga mereka berpamitan pada kami, kami saling berjabat dan merangkul serta berterimakasih atas apa yang telah mereka lakukan beberapa hari ini. Mas Ryan pun tidak lupa mengembalikan ponselku, dan mereka berdua menunggangi motor matic nya dan semakin jauh semakin tak terlihat lampu motornya. Aku segera ke dalam untuk beganti baju dan tidur. Ini adalah malam terakhirku ditempat ini, ahh selamat malam pengalamanku.

Paginya hari disambut hujan yang dingin, kami tidak melakukan hal lain selain didalam singgasana ini. Setelah reda kami turun ke toilet umum untuk bilas dan menyiapkan untuk perjalanan pulang. Cherly sudah kembali seperti semula, lantas kami makan pagi bersama dengan teh hangat yang membakar semangat kami kembali. Tujuh dari kami sudah menggendong carrier masing-masing dan berpamitan kepada pihak basecamp, tidak lupa membeli cenderamata di warung pernak pernik sebagai kenang-kenangan. 08:50 kami meninggalkan basecamp, 09:20 sampai di halte, 26 menit kemudian kami bertujuh menuju Purwokerto. Baru melintasi Purbalingga bus yang kami naiki mengalami kendala yang membuat bus ini melaju hanya dengan posisi gear 2 yang sangat lambat, berjam jam kami dijalan sampai lah kami ditempat paling awal kami, basecamp Purwokerto, Kosan Adies. 13:50, Menghela nafas bangga, akhirnya kami kembali seutuhnya dan selayaknya. Beberapa saat Aldy, Cherly bergegas untuk pulang menyusul Ahmar dan Nunu. Tinggal aku, Anggi, dan Adies yang memutuskan untuk memasak sisa bekal dari Mas Ryan yang terbawa kami, masih ada sarden, roti dan keju. Usai mengisi perut aku pun berpamitan sekitar pukul 16:00.

Ini adalah perjalanan tarikh waktu yang melibatkan setiap kejadian dan pengalaman yang kami rasakan, disinilah kami memacu kekompakan kami, disinilah kami menggantungkan impian kami, dan disinilah kami mengerti apa arti sebuah kebersamaan dalam sebuah perjuangan. Waktu ini belumlah berharga bagi saat ini juga, melainkan ini akan menjadi kado paling luar biasa dikala kita redup nanti, sebuah semangat jiwa muda yang berkobar membumbung setinggi 3371 meter diatas permukaan laut. Inilah kami bertujuh dengan keberhasilan satu tujuan dan satu impian yang telah tercatat oleh waktu. 14 September 2013.

Adies, Anggi, Nunu, Aldy, Ahmar, Cherly dan Sang Binasa
April 6th, 2014
fin.


No comments:

Post a Comment